Pelukan Terakhir Untuk Mama

Pelukan Terakhir Untuk Mama

 

Sudah hampir 3 tahun ini, aku masih mendengar suara itu, masih mencium aroma itu. Suara mesin pemantau denyut jantung yang setiap detik berbunyi ‘nuuuttttt’. Aroma kasur bercampur aroma lantai yang telah di pel dengan karbol. Uuhh wangi karbol ! Khas sekali. Aku berpijak di lantai yang dingin itu, dengan bertelanjang kaki. Rasa dingin merasuk ke tulang. Entah kenapa begitu masuk ke ruangan itu, seluruh udara terasa mencekik. Mencekik seluruh kemampuan fisik dan batinku untuk tetap kuat berdiri. Kali ini aku rapuh. Bukan tak ingin optimis, namun setelah kesekian kali seperti ini, rasanya mungkin ia pun lelah. Aku tidak bisa memaksa nya. Apalagi memaksa takdir dari Nya.

Ibu ku, biasa aku panggil Mamah. Sudah seminggu terbaring di ruang ICU. Kesadaran nya hilang. Beliau hanya bisa tertidur lesu dengan berbagai alat yang terpasang di tubuhnya. Aku tak tau lah itu apa saja. Aku sudah tidak bisa berpikir. Pikiran ku mengawang-awang. Memikirkan betapa menderita nya Mamah. Aku tahu sekali, ia orang yang sangat cengeng. Ketika sakit nya kambuh, ia selalu menangis sambil memelukku. Tapi kali ini, dekapan itu terhenti, tak ada tangis,tak ada suara. Tubuh itu, tubuh itu diam terpaku menghadap langit-langit. Seolah sudah siap menemui Nya.

Dari aku remaja, Mamah beberapa kali dirawat di rumah sakit. Ia terkena stroke jantung, oleh karena itu ia rutin berobat setiap bulan. Ia rajin sekali berobat, karena ia ingin sembuh. Ia masih ingin melihat ku. Masih ingin tinggal bersama ku, jika aku menikah nanti. Keinginan nya sangat sederhana sekali. Ia tidak pernah meminta naik haji atau berlibur ke luar negeri, atau meminta tas branded keluaran terbaru. Ia hanya ingin sembuh. Namun untuk kali ini, keinginan nya harus ia bawa ke alam lain yang lebih kekal.

Kehilangan Mamah di usia ku ke 27 tahun, menyisakan perih yang berbekas. Bagaimana tidak. Aku sangat dekat dengan nya. Setiap hari aku bersama nya. Aku bukan tipe anak yang senang bertualang, senang main di luar atau hang out dengan teman-teman. Aku tipe anak rumahan, yang menjadikan ‘tidur’ adalah sebuah agenda liburan sehabis penat bekerja. Kasih sayang Mamah sangat ‘mengenyangkan’ buat ku, terlebih karena memang aku anak semata wayangnya. Semua tercurah untuk ku. Hanya aku, dan aku.

Begitu pun aku, semua hanya untuk Mamah. Semua demi Mamah. Pernah di satu momen, aku sedang terpuruk. Keuanganku menyusut, pengangguran, aku mencari kerja tak kunjung dapat, lalu Mamah harus masuk rumah sakit karena darah tinggi nya kambuh, aku berpikir uang dari mana untuk biaya Mamah. Mamah yang saat itu sedang memakai alat bantu nafas, berkata padaku “Udah Neng, gak apa-apa dirawat aja, uang mah pasti ada”. Padahal aku tak berkata apa-apa padanya, karena aku takut jadi beban pikiran. Ternyata, ia tahu apa yang aku pikirkan dan aku rasakan saat itu. Akhirnya Mamah pun dirawat, dan kemudian aku dapat pinjaman dari Bibi ku untuk membayar biaya nya. Tak lama kemudian, aku pun dapat pekerjaan di salah satu hotel di Bandung, sampai sekarang. Ini lah doa Mamah, ucapan nya selalu menjadi doa di setiap langkah ku. Dimana aku berpijak, disitu lah doa nya bersemayam.

Aku bersyukur, aku bisa merawatnya saat ia sakit. Walaupun mungkin usaha ku belum cukup dan tidak akan pernah cukup, untuk membalas semua kasih sayang nya. Namun, jika harus membelah dada ini, semua adalah tentang nya. Tak pernah sedetik pun aku lupa menyebut nama nya. Meminta pada Allah untuk membuat nya kembali seperti dulu. Sehat, bugar, dan bisa melakukan aktifitas yang ia sukai. Aku pun bersyukur, masih bisa menunggui nya saat ia terbaring lemah di ruangan dingin itu. Tertidur di ranjang nya sambil terduduk di kursi. Berharap ada sebuah tangan yang membelai rambut ku, seperti yang sudah-sudah. Biasanya saat ia dirawat di rumah sakit, aku selalu tidur di dekat tangan nya, dan ia membelai lembut rambutku, sambil berkata ‘Maaf ya Nak, Mamah nyusahin terus’.

Saat itu, kalimat maaf tidak terdengar lagi. Di detik hembusan nafas terakhirnya, tak pernah ada kata-kata lagi. Tubuh Mamah sudah terbujur kaku di ranjang keras itu. Seberapa keras nya para suster berusaha untuk memacu jantungnya saat itu, Mamah tidak bangun. Aku pun terdiam, aku masih memegang erat tangan nya yang sedingin es. Lalu aku memeluk tubuh nya untuk terakhir kali, sambil berbisik lirih “Mah, Tita ikhlas, kalau Mamah udah gak kuat, gak apa-apa”.

Itu kali terakhir aku melihat jasadnya sebelum dibawa para suster ke ruang jenazah. Di ruangan itu, ruangan dingin nan kaku itu, kita berpisah. Kita sekarang terpisah jauh sekali. Aku masih harus berjuang di sini, bersama dengan Bapak. Harta ku yang harus aku jaga. Sedangkan Mamah sudah bahagia di sana,sambil menunggu ku dan Bapak.

Aku pun terhanyut dalam lamunan itu. Aku yakin Mamah akan menunggu ku disana. Namun, aku bertanya dalam hati “mengapa ia tidak mengucapkan selamat tinggal padaku, ya Allah? Mengapa ia pergi tiba-tiba begini ?”.Seketika lamunan ku buyar, dan diriku pun tersadar. Mungkin ini sudah takdir dari Nya.

Mah.. selamat tinggal sekali lagi. Aku berharap, kita akan bertemu di akhirat nanti. I love you Mah.

 

Bandung, 09 Desember 2019

 

 

Tita


Note : Cerita ini tayang di  Fimela 

Buat yang mau baca, langsung klik aja ya. Dan share pendapat kamu disini. Biar jadi bahan pembelajaran untukku kedepannya nanti.

See You

-sekhmet-

Komentar

Postingan Populer